FORUM KEADILAN – Penyeberangan perbatasan Rafah kembali dibuka untuk mengevakuasi ratusan warga negara asing dan warga Palestina yang terluka dari wilayah konflik di Jalur Gaza ke Mesir pada Minggu, 12/11/2023.
Evakuasi terbatas melalui Rafah sebelumnya telah dilakukan sejak 1 November lalu, tetapi evakuasi tersebut sempat terhenti dua kali dikarenakan adanya peringatan pengeboman.
Rusia telah memulai proses evakuasi warganya dari Gaza. Pada gelombang pertama terdapat lebih dari 60 orang pemegang paspor Rusia telah menyeberang ke Mesir, lapor Reuters.
“Saat ini, warga Federasi Rusia yang ingin meninggalkan zona konflik sedang melewati pos pemeriksaan,” tutur Kementerian Darurat Rusia, sambil menambahkan pihaknya juga menyediakan bantuan medis dan psikologis hingga makanan dan minuman bagi mereka.
Media Rusia menyebut, sekitar 1.000 warga negara Rusia menyatakan keinginan mereka untuk meninggalkan wilayah zona konflik itu.
Pejabat Polandia juga mengatakan bahwa sudah memulai mengevakuasi warganya pada Minggu, 12/11/2023. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Biro Keamanan Nasional Polandia Jacek Siewiera di media sosial bahwa warga negara Polandia tahap pertama yang berhasil dievakuasi dari Gaza telah menyeberangi perbatasan ke Mesir.
“Prosesnya telah dimulai. Angkatan Udara, seperti yang diperintahkan oleh Presiden Polandia, siap untuk melakukan pengangkutan,” jelas Siewiera.
Mengutip Reuters, Siewiera menjelaskan bahwa terdapat 18 warga negara Polandia yang berhasil dievakuasi dan Ia juga menambahkan bahwa upaya evakuasi tersebut difasilitasi oleh Qatar, Israel, dan Mesir.
Siewiera telah memberikan mengonfirmasi bahwa perbatasan Rafah telah dibuka kembali untuk melakukan proses mengevakuasi warga asing, setelah sempat terhenti akibat adanya gangguan selama beberapa hari terakhir.
Reuters melaporkan terdapat tujuh warga Palestina yang terluka telah dibawa ke Mesir dan setidaknya terdapat 80 truk bantuan kemanusiaan berhasil melintas dari Mesir masuk ke Gaza.
Namun, banyak dari angka-angka tersebut belum dapat diverifikasi secara independen dikarenakan situasi yang rumit di lapangan.
Disisi lain terdapat dua sakit utama di Gaza Utara telah ditutup untuk pasien baru pada hari Minggu, 12/11/2023, hal tersebut dikatakan oleh para staf.
Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola oleh Hamas menyebutkan bahwa pada hari Sabtu, 11/11 generator terakhir Rumah Sakit (RS) Al-Shifa telah habis, sementara pertempuran terus meningkat di sekitar kompleks rumah sakit hingga pada hari Minggu, 12/11.
“Situasi di Al-Shifa semakin memburuk,” ungkap Dokter Mohammad Zaqut kepada kantor berita AFP.
Richard Hecht, Juru bicara (jubir) militer Israel mengungkapkan pasukannya telah meninggalkan sekitar 300 liter bahan bakar di dekat Rumah Sakit Al-Shifa untuk menyalakan generator darurat bagi inkubator bayi yang baru lahir. Ia juga mengatakan bahan bakar tersebut tidak diambil.
Direktur Rumah Sakit, Mohammad Abu Salmiya menjelaskan kepada para jurnalis bahwa 300 liter hanya cukup untuk menyalakan generator selama “tidak lebih dari seperempat jam.”
Organisasi Dokter Tanpa Batas Negara, MSF; juga menjelaskan bahwa mereka telah kehilangan kontak dengans staf mereka di RS Al-Shifa yang merupakan fasilitas medis terbesar yang terletak di Jalur Gaza.
Organisasi Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan bahwa RS Al-Quds sudah “tidak lagi beroperasi” dikarenakan kekurangan bahan bakar untuk menyalakan generator.
“Rumah sakit telah dibiarkan pejuang sendiri di bawah pemboman Israel yang sedang berlangsung, menimbulkan risiko berat bagi staf medis, pasien, dan warga sipil yang terlantar,” jelas dari organisasi tersebut.
Israel justru membantah telah melakukan pengeboman terhadap rumah sakit itu.
Alyona Synenko, Juru bicara Palang Merah Internasional (ICRC) di Yerusalem menjelaskan kepada DW bahwa kondisi di area Selatan Gaza “seharusnya bisa lebih baik,” tetapi fasilitas medis di sana masih “menghadapi tantangan yang begitu besar.”
“Setiap hari mereka menerima pasien baru, pasien dengan luka parah, banyak luka bakar, dan mereka kehabisan banyak persediaan penting, seperti kain kasa dan obat bius,” jelasnya, sambil menambahkan bahwa banyaknya anak kecil di antara para Korban.
Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menjelaskan pada Minggu, 12/11 bahwa tentara Israel dapat mencapai kesepakatan dengan kelompok Islamis Hamas untuk membebaskan beberapa sandera yang ditahan di Jalur Gaza.
“Kami mendengar bahwa akan ada kesepakatan mengenai hal ini atau hal ini, namun kemudian kami mengetahui bahwa itu semua adalah omong kosong,” jelas Netanyahu dalam sebuah wawancara di program televisi Amerika Serikat “Meet the Press.”
“Tapi, begitu kami memulai operasi darat, hal itu mulai berubah.”
Netanyahu mengungkapkan, hanya tekanan militerlah yang dapat menghasilkan kesepakatan dengan Hamas, yang dianggap sebagai salah satu kelompok teroris oleh AS, Uni Eropa, Jerman, dan sebagian besar Eropa.
“Mungkin saja ada (kesepakatan), tetapi saya pikir semakin sedikit saya mengatakannya, semakin besar peluangnya untuk terwujud,” tutupnya.*