FORUM KEADILAN – Perhelatan Musyawarah Nasional Luar Biasa (munaslub) Partai Golkar menggiring beragam isu suksesi kepemimpinan di tubuh partai berlambang pohon beringan itu. Salah satu yang santer mengemuka di ranah publik adalah rumor Joko Widodo akan disambut karpet merah dengan posisi strategis di Partai Golkar.
Munaslub dan penyidikan dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) Airlangga Hartarto dipandang sebagai kendaraan taktis guna memuluskan rencana realisasi syahwat kekuasaan tersebut.
Salah satu suksesor terkuat yang saat ini digadang-gadang menggantikan posisi Airlangga Hartarto adalah Menteri Koordinator Martim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sosok yang selama ini dikenal sebagai hulubalang sang presiden di Kabinet Jokowi.
Dinamika ini membawa kita pada flashback atau kilas balik slogan revolusi mental yang digadang-gadang Jokowi pada masa kampanye dan awal kepemimpinannya Sembilan tahun silam. Salah satu langkah konkrit dari revolusi mental itu adalah sikap tegasnya memberi plihan bagi ketua umum parpol meninggalkan kursi di partai dan bergabung di kabinetnya.
Sikap Jokowi kala itu dinilai sangat revolusiner, terlebih langkahnya dipayungi oleh konstitusi. Pasalnya, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara melarang seorang menteri tidak diperkenankan merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik.
Pasal 23 dengan tegas menyebutkan seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN/APBD).
Komitmen revolusi mental tergerus dan luntur oleh toleransi serta kalkulasi politik Jokowi. Inkonsistensi itu secara nyata dibuktikan dari sejumlah Ketua Umum partai yang berada di kabinet Jokowi. Sebut saja Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan mantan Ketum PPP Suharso Monoarfa.
Revolusi mental layu sebelum berkembang. Jejak pengkhianatan terhadap revolusi mental dalam konteks minimalisasi irisan ketum parpol dalam kabinet Jokowi tampaknya masih berlanjut. Jika sajaLuhut Binsar Pandjaitan berhasil menyingkirkan Airlangga dari kursi Ketum Golkar, maka paradoks revolusi mental semakin nyata adanya.
Jika di kemudian hari rumor Luhut bainsar Pandjaitan sesungguhnya hanya jembatan untuk menghantarkan Jokowi masuk dan duduk di posisi penting Partai Golkar terbukti.
Jika dugaan ini menjadi nyata, betapa gagasan mulia revolusi mental telah dikanibalisasi oleh induk yang melahirkanya.
Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyindir integritas sang pemimpin.
“Yang paling penting dari seorang pemimpin salah satunya adalah integritas. Integritas itu satu kata dan perbuatan,” sindir Herzaki kepada Forum Keadilan.
“Bagaimana kita bisa menilai kapabilitas pemimpin, ya jelas, kita memilih pemimpin karena dia punya janji yang katanya ingin diwujudkan. Jadi ketika berproses, yang kita cermati ya kita lihat saja janjinya apa dan dilaksanakan atau tidak. Apa yang dikatakan Pak Joko Widodo ketika kampanye memberikan janji kepada masyarakat tak dipenuhi satu pun,” tuturnya.
Herzaky menyinggung efektifitas kabinet yang menjadi alasan Jokowi ketika melarang menterinya menduduki jabatan ketum parpol kala itu. Faktanya kata Herzaki, Jokowi bahkan membiarkan para menteri berlomba-lomba menjadi capres dan cawapres.
“Kami sangat menyayangkan sejak awal. Kalau dirasa lebih efektif ketua umum jadi menteri, ya sampaikan dong. Ini jadi masalah karena terjadi pembiaran,” tambahnya.
Herzaky pun menyoroti sikap para pembantu presiden yang tidak mengingatkan pimpinanya, justru sebaliknya diam dan menjadi bagian dari permasalahan tersebut. Termasuk rumor Jokowi akan berlabuh ke Golkar menurutnya tak lain adalah manifestasi dari syahwat kekuasaan di tubuh kabinet Jokowi.
“Kepala negara itu di atas semua partai. Bagaimana dia bisa memosisikan dirinya sebagai pembina, mengayomi semua masyarakat, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Ini yang menjadi hal yang lebih tinggi dari sekadar hukum, itu yang namanya etika. Ini kan bagian dari etika, dari moral,” ungkapnya.
Ia mengingatkan Jokowi akan kepemimpinan yang baik adalah mengakhir masa jabatannya dengan cara elegan sehingga akan dikenang oleh generasi penerusnya.
“Jika turun jabatan nanti, beliau kita harapkan meninggalkan kenangan yang bagus. Bukan sebagai orde baru jilid dua,” tukasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komaruddin melihat peluang pergantian Ketum Golkar akan terwujud melalui dua pola permainan. Pertama melalui cara kasar dan lainnya adalah cara halus.
“Permainan kasar, Jokowi ambil langsung Ketua Umum, sedangkan yang Soft, Luhut yang jadi Ketum Golkar,” ujarnya.
Jika Jokowi menggunakan cara-cara yang kasar, hal ini mengharuskannya hijrah dari PDIP. Cara ini menurut Ujang bukanlah tipikal Jokowi. Jokowi di matanya sudah memiliki kalkulasi matang jika berhadap-hadapan langsung dengan PDIP.
Yang paling memungkin menurtnya adalah memainkan politik cantik, yaitu menjadikan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sebagai ketua umumnya.
“Kalau Luhut yang ambil ketua umum itu lebih soft, karena Luhut kader Golkar. Saat ini dia dewan penasehat,” tuturnya.
Dengan LBP menjadi Ketua Umum Golkar sama saja mengartikan Partai Golkar dikendalikan oleh Jokowi. Apalagi di tahun 2024 nanti, Jokowi sudah tidak menjabat sebagai Presiden Indonesia sehingga dirinya tidak lagi memegang kekuatan apa-apa.
“Makannya dia mau ambil Golkar melalui tangan Luhut agar dia aman, agar punya power. Begitu logika politik yang sedang dibangun dan dimainkan,” tutup Ujang.*(Tim FORUM KEADILAN)