Jam Masuk Kerja DKI Dibagi 2 Sesi, FSPMI Minta Pemerintah Kaji Kembali

Jam kerja DKI
Ilustrasi karyawan berangkat kerja. | ist

FORUM KEADILAN – Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana membagi jam masuk kerja menjadi dua sesi, yakni pukul 08.00 WIB dan 10.00 WIB. Kebijakan ini dirancang guna mengurangi penumpukan kendaraan ketika jam sibuk, baik di pagi maupun sore hari.

Menanggapi rencana tersebut, Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) DKI Jakarta Winarso mengatakan, rencana itu perlu dikaji kembali.

Bacaan Lainnya

Pemerintah kata Winarso seharusnya melakukan kajian terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan. Kajian misalnya memperhatikan titik berangkat atau tempat tinggal pegawai ke tempat kerja.

“Kalau menurut saya harus dikaji lagi karena apa? dari 4,7 juta pekerja formal itu juga harus dilihat mulai dari mereka titik berangkatnya atau tempat tinggal mereka, menuju tempat kerja itu di wilayah mana saja, dan yang disasar oleh pemerintah untuk mencegah kemacetan itu di titik mana kan harus ada kajian juga,” kata Winarso kepada Forum Keadilan, Rabu, 12/7/2023.

Menurutnya, ketimbang membagi jam kerja menjadi dua bagian, pemerintah harusnya lebih fokus dalam memaksimalkan penambahan atau pembangunan transportasi umum.

Lebih jauh Winarso berpendapat, pembagian pengaturan jam kerja ini tidak akan efektif. Penumpukan kendaraan di jam-jam tertentu dikemukakannya bukan hanya disebabkan faktor berangkat kerja, tetapi juga mereka yang beraktivitas atau sedang bekerja.

Nah kalau menurut saya, jika Pemerintah itu bisa memaksimalkan transportasi yang ada di Jakarta, itu bisa mengurangi angka kemacetan mungkin kisaran 20 sampai 30%, bisa mengurai kemacetan, karena apa, sering kita dapati mereka yang berangkat ke kantor atau ke tempat kerjanya itu membawa kendaraan pribadi di pagi hari satu mobil hanya diisi oleh satu orang, satu mobil hanya isi dua orang, dan tentu penumpukan-penumpukan itu terjadi ketika memang di jam kerja yang sama, dan di jam masuk kerja yang sama,” ujarnya.

Bukan hanya pekerja yang menggunakan kendaraan mobil, kepadatan kendaraan juga dirasakan oleh para pengguna roda dua, seperti motor.

“Lalu ditambah lagi pengendara-pengendara motor yang pastinya juga itu masuk di jam kerja yang sama kisaran jam 07.00 atau jam 08.00 WIB. Oleh karena itu, pemerintah, jika mode transportasinya seperti mode Transjakarta itu harus dimaksimalkan itu bisa mengurangi angka-angka kemacetan, lalu seperti KRL misalnya, itu diberdayakan juga, itu menurut saya juga bisa mengurangi,” ungkapnya.

Selain karena fasilitas transportasi umum yang belum memadai, Winarso juga menjelaskan, penumpukan kendaraan yang menyebabkan kemacetan parah itu dikarenakan kurangnya kesadaran diri masyarakat.

“Permasalahannya gimana ini kesadaran masyarakat yang tentu juga harus dibangun oleh Pemda DKI Jakarta, kenapa? mereka masih menggunakan kendaraan pribadi ya, karena tentunya belum ada kesadaran, dan kebutuhan kesadarannya adalah tentu para pekerja yang berangkat bekerja itu mencari kenyamanan dengan membawa kendaraan pribadi,” tuturnya.

Sementara itu, alasan lainnya kemacetan sering terjadi karena, masyarakat beraktivitas di jam yang sama, ditambah dengan masyarakat yang memang sudah beraktivitas sebelumnya di jalan tersebut.

“Kedua adalah mereka memang pada jam-jam tertentu juga bukan hanya orang sedang berangkat kerja, ada juga yang memang mereka sudah beraktivitas di pekerjaannya. Contoh seperti pengantar logistik atau sejenisnya yang memang di jam-jam seperti itu mereka sudah bekerja menggunakan jalan raya, lalu lintas,” jelasnya.

Kemudian, ia menegaskan kembali jika rencana pembagian jam kerja menjadi dua sesi itu belum tentu mengurai kemacetan.

“Karena di jam-jam itulah sering kita dapati penumpukan kendaraan yang memang pada saat itu sedang berangkat ke tempat kerja dan juga orang-orang yang sudah beraktivitas bekerja begitu,” tambahnya.

Sebenarnya, kata Winarso, pembagian jam kerja menjadi dua sesi tersebut, tidak berpengaruh terhadap buruh pabrik yang memang tidak bekerja di area DKI Jakarta.

“Sekarang begini, mereka kalau kami di FSPMI, lebih banyak yang bekerja di sektor manufaktur atau di pabrik-pabrik, faktanya atau realitanya yang ada sekarang ini adalah mereka yang bekerja di kantor-kantor contoh di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, ya memang mereka tempat tinggalnya itu di sekitar Jakarta. Contoh ada di Depok, Bekasi, atau di Tangerang yang tentunya satu tujuan di Jakarta Pusat. Ya, otomatis terjadi penumpukan-penumpukan kendaraan di situ,” ucapnya.

Ia menyarankan pemerintah harus lebih peka, selain membangun transportasi umum, pembangunan fasilitas umum seperti parkiran juga mesti diutamakan.

“Jika pemerintah bisa memfasilitasi, contoh misalnya, dibangunlah itu penitipan kendaraan di stasiun-stasiun kereta yang memadai, itu mungkin mereka juga akan berpikir memilih, seperti mobil akan ditaruh di stasiun dan menggunakan KRL sampai di tempat yang dituju. Menurut saya itu lebih efektif daripada jam kerja dibagi menjadi dua jam masuk kerja ini diberlakukan,” tandasnya. *

Laporan Novia Suhari

Pos terkait