In Memoriam Bambang Eka Wijaya

Bambang Eka Wijaya
Tokoh pers Lampung Bambang Eka Wijaya. | ist

Oleh Udo Z Karzi

SETELAH menerbitkan buku Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (2020) — judul ini dipoles lebih manis oleh Heri Wardoyo dari judul semula, “Mencari Lampung di Kesenyapan Jalan Budaya”; saya jadi agak tak enak hati . Sok banget saya ini. Terlebih lagi saya menemukan buku Terus Berkarya di Usia Senja: Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (Yayasan Carablaka, Purwokerta, 2020).

Terbitnya kedua buku pun hampir bersamaan karena meskipun berjarak 22 tahun, ternyata tanggal kelahiran saya dan Ahmad Tohari hanya selisih satu hari. Jika saya lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Ahmad Tohari lahir 13 Juni 1948 di Jatilawang, Banyumas.

Via WA saya kirim cover kedua buku untuk 50 tahun UZK dan untuk 72 tahun Ahmad Tohari kepada Ketua Komite Film Dewan Kesenian Lampung (DKL) Dede Safara Wijaya tertanggal 15 Juni 2020 sembari menulis: “Jadi malu saya.”

“Kerren ini, Udo. (emoji jempol) Malunya knp?” tanya Dede.

“Lah, 50 tahun aja. Ahmad Tohari 72 tahun,” jawab saya. “Maksud saya, saya mau bikin untuk Pak BEW ( Bambang Eka Wijaya). Bareng Dirman (Rahmat Sudirman), maunya.”

“Ooo (emoji tertawa), ngomong langsung sama Ayah BEW. Kalau Bang Dirman asyik2 aja sih. (emoji tersenyum)”

“Ok, saya (kita) perlu ketemu Dirman dulu kalo gitu.”

“O gitu, ya Udo WA Bang Dirman aja dulu. Kalau saya setiap hari ketemu dia.”

Setelah itu saya hubungi Rahmat Sudirman menjelaskan rencana ini. Saya pun diminta membuat draf buku dimaksud. Tapi, setelah itu saya malah ragu. Akibatnya draf dari saya tak jadi-jadi. Agak menyesal kenapa tak jadi saya bikin hingga Pak Bambang berpulang pada Senin, 13 Maret 2023 pukul 13.25 WIB di RSUD Abdul Moeloek.

Namun, misteri tidak jadinya draf buku untuk Pak Bambang terjawab sudah ketika membaca obituari “BEW, Berpulangnya Manusia Estetis” yang ditulis Mas Heri Wardoyo, 14/3/2023. Cuplikannya:

28 Februari 2023 kemarin, saya dipanggil beliau (BEW). . ..

Perintah apa itu, Pak. Saya mulai tak sabar karena beliau tampak sejenak berpikir. Saya pun mendekatkan telinga, tapi urung. Suara beliau masih baik terdengar.

“Saya ingin kamu menulis. Tentang saya. Tentang jejak kewartawanan saya. Tulis dengan gaya Heri Wardoyo, jangan dengan gaya lain. 150-an halaman saja. Cuma kamu yang saya anggap mewarisi gaya penulisan saya,” kalimatnya bergetar. Titik air di ekor mataku terbit, cepat kuusap. “Pasti, Pak. Siap, Pak. Izin, saya merekam perintah Bapak ini via telepon.”

Ya, sangat benar jika sekelas Mas Heri Wardoyo yang menuliskan (biografi) seorang BEW. Wakil Bupati Tulangbawang (2012–2017) yang pernah menjadi Redaktur Pelaksana SKU Sumatera Post (1998-2000), lalu Redaktur Pelaksana dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Lampung Post (2000–2012) ini sejatinya wartawan kawakan juga. BEW menjelang akhir hayatnya memberi pengakuan itu dengan “Cuma kamu yang saya anggap mewarisi gaya penulisan saya”.

Dan, saya termasuk beruntung karena mendapat gemblengan dari dua kampiun jurnalistik itu selama di Sumatera Post (1998–2000) dan Lampung Post (2000–2015). Dari keduanya saya banyak mendapat ilmu jurnalistik, termasuk menyegarkan dan memberi tenaga pada bahasa jurnalistik.

Pertama-tama di Lampung Post setelah lebih banyak menulis kolom di rubrik Nuansa ketimbang berita, saya diangkat menjadi asisten redaktur opini membantu redaktur opini Hesma Eryani (alm).

Selanjutnya, saya sendirian menjadi penanggung jawab opini tanpa redaktur karena Ayuk Hesma ke desk lain. Meskipun sempat menjadi redaktur umum, kota, dan daerah, hampir sepanjang karier jurnalistik saya menjadi penanggung jawab halaman opini. Lalu, merangkap penanggung jawab halaman budaya setelah ditinggal redakturnya, Iswadi Pratama, Rahmad Sudirman, dan Budi Hutasuhut.

Sebagai penjab Opini dan Budaya, saya bersama sebuah tim termasuk redaktur pelaksana dan redaktur senior lainnya digembleng — tentu di bawah kontrol dan ilmu dari Pak BEW — untuk menulis tajuk rencana. Saya pun diminta juga mengolah kisah pendek, tetapi tetap sesuai fakta yang disebut BEW paling susah karena harus membuat pembaca tertawa, yaitu Wat-Wat Gawoh (Ada-Ada Saja). Yang lain, saya ikut menulis tulisan panjang untuk Lampost Minggu.

Maka, dari sinilah, saya belakangan mengaku sebagai tukang tulis. Sebab, saya sedia menulis apa saja dengan sesuka-suka saya tak terbatas genre, semua ragam tulisan jurnalistik, ilmiah, dan sastra. Meskipun gak hebat-hebat amat pula. Heheee..

Merasakan sendiri gemblengan di koran legendaris yang dipimpin BEW, saya rasa wajar jika lahir banyak wartawan dan penulis hebat dari koran ini. Selain yang sudah saya sebut dan yang masih bekerja di Lampost, saya teringat Bang/Mas/Mbak Sabam Sinaga, Alhuda Muhajirin (alm), Oyos Saroso H N, Hapris Jawodo, Herman Batin Mangku, Maspril Aries, Iman Untung Slamet, Sudarmono Wongso Pawiro, Firman Seponada, Amiruddin Sormin, Yoso Muliawan, Teguh Prasetyo, Adian Saputra, Nova Lidarni, Wiwik Hastuti Wiratmo, Rinda Mulyani,… terlalu banyak nama yang harus disebut yang kemudian dikenal sebagai penulis (wartawan) keren.

Sekali waktu, Pak BEW naik ke ruang redaksi dan nampaknya sengaja menemui saya. Beliau bertanya, “Zul, apa pengertian kontrak sosial?”

Waduh, konsep kontrak sosial ini pernah saya terima saat kuliah politik dalam kaitannya kekuasaan, legitimasi, dan negara. Tapi, saya agak lupa detail konsepnya. Saya jawab sekenanya sembari menambahkan, saya mesti cek lagi di buku kuliah lama. Internet belum populer kala itu. Benar keesokan harinya, beliau tanya lagi. Saya mencoba menjelaskan berdasar bacaan saya. Lalu, keesokan harinya BEW menulis Buras dengan judul “Kontrak Sosial”.

Tapi, BEW tak menulis definisi. Ia bercerita dengan lincah dan juga lucu tentang fenomena partai-partai bikin kontrak politik. Itulah BEW ia seorang pembelajar seumur hidup yang tidak akan menulis sebelum ia paham benar apa yang hendak ia tulis.

Ada banyak diskusi, obrolan, dan tukar pendapat dalam rapat redaksi atau dalam suasana santai di berbagai kesempatan. Pernah juga beliau mengingatkan agar hati-hati memilih tulisan yang hendak dimuat di halaman Opini. Tulisan Si A tentang pengkhianatan cendekia yang meminjam Julian Benda hari ini terlalu tendensius dan membuat generalisasi. Tak bisa semua cendekia dianggap pengkhianat. Ada kasus-kasusnya. Jangan dipukul rata sama semua..

Ya, BEW mengajarkan keseimbangan, ada diskusi dan argumen yang memadai dalam opini. Tak bisa gegabah main seruduk semuanya. Ilmu yang sangat penting dalam menjaga pertukaran pendapat yang sehat di media.

Ketika saya pamit meninggalkan Lampost tahun 2015, BEW tak mengucapkan selamat jalan. Beliau tetap menyemangati saya agar terus berkarya dan berkata, “Selamat membesarkan Lampung Post dari luar.”

Benar belaka ratusan alumni Lampost yang kini tersebar dan terus berkarya di mana-mana sejatinya semakin mengukuhkan kebesaran Lampost.

***

Hal paling sulit (dalam menulis) adalah membuat orang tertawa. Orang butuh ketawa karena itu menyegarkan. Kalau serius terus malah pusing. Mana hidup sudah pusing ditambah pusing lagi. Yang penting bisa membuat orang senang saja.” kata Bambang Eka Wijaya (2011)

Ini yang dipraktikkan BEW dalam karya masterpiece-nya, Buras. Buras adalah kolom (column) khas BEW yang ditulis dengan reflektif, menarik, inspiratif, dan menghibur di Lampung Post setiap hari. Sebagian sudah dibukukan. Untuk kerja luar biasa ini, Pak Bambang diganjar penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) pada 2007 sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda dari 20 Mei 1998 hingga kini.

Pria kelahiran Pematangsiantar, Sumatera Utara, 6 Oktober 1946 ini menulis sejak SMP dan SMA ke beberapa koran di Sumatera Utara. Puisi dan artikel yang dimuat di Harian Waspada menyebabkannya usai lulus SMA dipanggil redaksi koran tersebut untuk bekerja di sana.

Sejak itulah jejak jurnalistik BEW mulai tercatat di Kota Medan sampai kemudian menjadi Redaktur Pelaksana Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan (1986–1987). Lalu, menjadi Redaktur Pelaksana Harian Prioritas, Jakarta (1986–1987), Pemimpin Redaksi Mingguan Bintang Sport-Film, Medan (1988–1989), Redaktur Harian Media Indonesia (1990–1993), Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi Harian Lampung Post (1993–2002), dan terakhir Pemimpin Umum Harian Lampung Post sejak 2002.

Selamat jalan, Pak Bambang. Selamat bertemu lagi dengan istri tercinta, Anisyah, yang lebih duluan pergi. Pak Bambang meninggalkan lima putra-putri: Fikri Abdillah, Dede Safara, Wulan Anggraini, Komariah, dan Handayani.

Ilmu, pengalaman, dan karya-karyamu menjadi semangat, inspirasi, dan mengabadi dalam ingatan kami. Engkau menjadi Guru Besar yang sejati bagi murid-muridmu. Semoga semua itu menjadi catatan amal baik yang menjadi bekal terbaik bagimu di kampung akhirat. Amin. *