Kejagung Pastikan Praktik Jual-Beli Restorative Justice Ditindak

Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana.
Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana. | Dok Kejagung

FORUM KEADILAN – Menanggapi adanya adanya praktik jual-beli penyelesaian perkara yang disampaikan anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun, Kejaksaam Agung (Kejagung) menegaskan bakal memberikan tindakan tegas jika ada praktik penyalahgunaan restorative justice.

“Pak Adang Daradjatun sebagai anggota Komisi III, tentu saja kami sangat menghormati dan apresiasi karena itu adalah sebagai bentuk pengawasan parlemen, khususnya kepada kami sebagai mitra strategis. Namun Pak Adang tidak menyebut secara spesifik di instansi mana yang dimaksud melakukan praktik jual-menjual dimaksud,” ujar Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana kepada wartawan, Selasa, 18/1/2023.

Bacaan Lainnya

“Kalau kami sangat senang apabila masyarakat, birokrat, atau anggota Dewan, siapa pun mereka, memberikan apresiasi yang tinggi jika ada diketemukan praktik-praktik yang menyalahgunakan kewenangan, apalagi yang kaitannya dengan RJ (restorative justice), pasti akan kami tindak, dan Pak Jaksa Agung sangat concern dan sangat care tentang hal tersebut,” lanjut dia.

Ketut menuturkan penyelesaian perkara dengan restorative justice memiliki syarat utama, yakni perdamaian dan pemaafan dari korban.

Selain itu, lanjut Ketut, pelaku yang diberi restorative justice masuk kategori tidak mampu secara ekonomi.

“Alias karena terdesak kebutuhan ekonomi melakukan tindak pidana,” ucap Ketut.

Ketut mengatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin terbuka untuk pengaduan jika ada jual beli restorative justice untuk dijadikan introspeksi. Termasuk untuk bukti penindakan oknum kejaksaan yang melakukan penyalahgunaan.

“Yang berusaha merusak penegakan hukum humanis yang selama ini dijadikan program prioritas kejaksaan,” katanya.

Ketut mengatakan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara, yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Ia mengatakan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki syarat yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain; (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.

“Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Ketut.

Selain itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat.

Sebelumnya, Adang Daradjatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice. Dia mengaku pihaknya menemukan praktik itu dalam implementasinya di lapangan.

Hal ini disampaikan Adang dalam rapat Komisi III DPR bersama LPSK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, seperti dikutip pada Selasa (17/1/2023). Adang memberikan tanggapan atas pemaparan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

“LPSK berharap implementasi restorative justice tidak bergeser dan sekarang sudah mulai bergeser. Ini saya mau pendapatnya gimana LPSK sebaiknya. Karena apa pun juga, menarik ya, yang memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan,” kata Adang dalam rapat itu.

Adang meminta penjelasan lebih lanjut dari LPSK terkait adanya implementasi restorative justice yang bergeser. Dia pun mengungkapkan pihaknya menemukan praktik jual-beli dalam restorative justice.

“Saya minta kedalaman, ini nggak main-main, ya, karena ini saya lihat di lapangan, ini restorative justice udah mulai jual-menjual. Jadi maaf, LPSK sebagai lembaga negara, kita akan dukung,” ujar dia.

Dalam rapat itu, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan pihaknya kini telah tergabung dalam Tim Pokja Restorative Justice Peradilan Pidana bentukan Menko Polhukam Mahfud Md. Dia mengatakan tim ini dibentuk supaya adanya kesepahaman dalam menerapkan restorative justice.

“Agar adanya satu kesepahaman penerapan keadilan restoratif dalam peradilan pidana,” kata Hasto.

“Ini yang memberikan kesempatan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi atau kuat bisa membeli keadilan,” lanjut dia.

Sebelumnya, Adang Daradjatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice. Dia mengaku pihaknya menemukan praktik itu dalam implementasinya di lapangan.

Hal ini disampaikan Adang dalam rapat Komisi III DPR bersama LPSK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, seperti dikutip pada Selasa, 17/1/2023.

Adang memberikan tanggapan atas pemaparan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

“LPSK berharap implementasi restorative justice tidak bergeser dan sekarang sudah mulai bergeser. Ini saya mau pendapatnya gimana LPSK sebaiknya,” kata Adang dalam rapat itu.

“Karena apa pun juga, menarik ya, yang memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan,” imbuhnya.

Adang meminta penjelasan lebih lanjut dari LPSK terkait adanya implementasi restorative justice yang bergeser. Dia pun mengungkapkan pihaknya menemukan praktik jual-beli dalam restorative justice.

“Saya minta kedalaman, ini nggak main-main, ya, karena ini saya lihat di lapangan, ini restorative justice udah mulai jual-menjual. Jadi maaf, LPSK sebagai lembaga negara, kita akan dukung,” ujar dia.

Dalam rapat itu, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan pihaknya kini telah tergabung dalam Tim Pokja Restorative Justice Peradilan Pidana bentukan Menko Polhukam Mahfud Md. Dia mengatakan tim ini dibentuk supaya adanya kesepahaman dalam menerapkan restorative justice.

“Agar adanya satu kesepahaman penerapan keadilan restoratif dalam peradilan pidana,” kata Hasto.

“Ini yang memberikan kesempatan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi atau kuat bisa membeli keadilan,” lanjut dia.*