Oleh IB Ilham Malik
FORUM KEADILAN – Isu ODOL (over dimestion over load) atau kendaraan barang dengan muatan berlebih dan dimensi berlebih, kembali menjadi bahan diskusi serius di banyak kalangan terkait dengan isu ini. Sebabnya, adalah adanya tuntutan dari pelaku ODOL atau yang terkait dengan pengoperasian dan pemanfaatan ODOL agar kebijakan pemerintah yang ingin meniadakan ODOL (zero ODOL) pada awal 2023 dapat ditunda (lagi).



Ada beberapa alasan yang mereka kemukaka, di antaranya adalah harga barang akan melambung tinggi akibat meningkatnya biaya angkut. Lalu, pelaku usaha juga akan mengalami kerugian akibat biaya transportasi meningkat sementara harga barang tidak bisa di kerek naik karena kemampuan/daya beli masyarakat masih rendah. Apalagi semuanya belum pulih sediakala akibat adanya wabah Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia. Masyarakat bisa ngamuk, katanya.
Sepertinya agak masuk akal apa yang mereka sampaikan. Namun, tentu saja kita harus menggunakan begitu banyak variabel untuk menilai apakah yang dikatakan oleh pelaku ODOL adalah suatu kebenaran yang harus diakui ataukah ada hal lain yang harus dilihat. Sehingga, kebijakan zero ODOL yang sudah dicanangan sejak lama sebagai implikasi dari keberadaan ODOL yang menyebabkan usia jalan menurun drastis, dari yang seharusnya berusia 10 tahun menjadi 2 tahun.
Kondisi ini tentu saja sangat merugikan anggaran masyarakat dan APBN. Itulah sebabnya, pemerintah sejak 2004 menekankan betul agar segera ada kebijakan tentang ODOL. Seharusnya, pada 2008 kebijakan zero ODOL sudah dilaksanakan pemerintah berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Namun pada saat itu ada hal yang harus disinkronisasikan antara Kemen-PU dan Kemenhub agar tidak ada persoalan teknis di lapangan yang meyulitkan aparat. Serta, tentu saja, pada saat itu ada “penolakan” pihak tertentu atas rencana zero ODOL tersebut.
Baca juga:
Cara Pesan Tiket Kereta Api Lewat KAI Access dan Website
KPK: Penyelidikan Formula E Jalan Terus
Berbagai pemerintah daerah, sebenarnya sudah sangat tertekan dengan pengoperasian ODOL yang sepertinya tidak ada solusi penanganan. Sampai-sampai, Bupati Lebak turun ke jalan untuk menghentikan kendaraan yang disinyalir ODOL karena merusak jalanan yang ada di daerahnya. Hal ini menandakan bahwa keresahan akibat adanya ODOL sudah sampai ke level ubun-ubun masyarakat di daerah. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan tentu saja di Pulau Jawa, sudah ada keprihatinan tentang masih beroperasinya ODOL.
Di sisi lain, keberadaan jembatan timbang malah menjadi bancakan banyak pihak untuk mengeruk keuntungan tertentu, sehingga kerusakan jalan masih terus terjadi. Kondisi ini tentu saja membuat dilematis. Karena ketika suatu langkah diambil, seolah ada “jalan khusus” yang menggagalkan kebijakan tersebut.
Isu Lokasi
Dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota, kita perlu melihat persoalan ODOL ini dalam perspektif lokasi. Keberadaan bahan mentah (raw material), dengan lokasi industri dan pasar (konsumen) masih belum direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Kondisi ini yang menyebabkan perjalanan kendaraan barang menjadi “awut-awutan” alias bisa melalui jalur manapun. Implikasinya, karena semua jalan memiliki kemampuan yang berbeda-beda di soal MST (muatan sumbu terberat), maka kerusakan jalan pun akhirnya terjadi di mana-mana. Jangankan di jalan daerah (provinsi dan kabupaten kota), bahkan di jalan nasional dan jalan tol pun kerusakan jalan terjadi. Bahkan negara pun merugi Rp44 triliun per tahun karena adanya ODOL.
Karena itu, penyelesaian masalah ODOL harus disertai dengan kebijakan penataan struktur ruang yang benar. Mana daerah kawasan industri dan pelabuhan, lalu apa jenis angkutan yang harus disediakan untuk menjamin interaksinya menjadi efektif dan efisien, menjadi sangat penting untuk dirancang. Tetapi, penataan struktur ruang ini akan membawa implikasi pada penyediaan infrastruktur yang tepat. Dan semuanya itu, menariknya, akan terjadi jika ada “tekanan sosial dan politik” dari masyarakat dan banyak pihak. Itulah sebabnya, perlu ada rekayasa terkait dengan hal itu agar kebijakan zero ODOL di Indonesia akan tercapai.
Rekayasanya adalah dalam bentuk penerapan zero ODOL secara tegas. Dengan begitu, akan ada protes dari berbagai pihak terkait dengan kebijakan ini yang menuntut supaya pengaturan ruang dan pembangunan infrastruktur segera disesuaikan dan dilaksanakan. Dan tekanan pengusaha ini-lah yang akan membawa perbaikan pada sistem transportasi dan guna lahan di negara kita.
Isu Mobiltas Barang
Mobilitas barang atau logistik harus dilayani dengan alat angkut logistik yang efektif dan efisien. Sebenarnya, dalam banyak riset yang dilakukan oleh banyak sarjana menunjukkan bahwa beaya angkutan barang yang paling efisien ada di kereta api dan maritim. Karena itu, jika suatau negara ingin membangun ekonominya dengan sehat melalui perdagangan dan industri maka harus segera membangun sistem perangkutan logistik yang benar.
Mungkin dari sisi investasinya terdengar sangat mahal. Namun dalam perjalanannya akan menjadi sangat efisien karena menyehatkan anggaran negara dan secara bersamaan akan menyehatkan sistem pergerakan. Ujungnya tentu saja ada pada ekonomi yang sehat.
Kerusakan jalan harus dapat ditekan maksimal dengan memperbaiki sistem angkutan logistik. Namun bukan berarti, kebijakan zero ODOL diterapkan setelah semuanya tersistem dengan baik. Negara kita ada kebiasaan memperbaiki sesuatu jika sudah ada tuntutan sosial dan politik. Karena itu, perlu diterapkan segera kebijakan zero ODOL ini pada 2023, agar pada tahun-tahun berikutnya kesibukan pemerintah ada pada perbaikan dan penyempurnaan sistem logistik nasional.
Dan, ini juga termasuk dengan kebijakan angkutan batubara. Ada banyak daerah di Sumatera dan Kalimantan yang batubaranya diangkut dengan truk melebihi batas MST jalan. Di akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi, kita meletakkan harapan agar pemerintah bisa mempertegas penerapan kebijakan terkait sistem logistik nasional. Tol laut dan KA cepat bisa dijadikan referensi kemana arah kebijakan trasnportasi nasional kita.
Demikianlah, kebijakan zero ODOL 2023 harus tetap dilaksanakan untuk menghentikan persoalan kerusaan jalan dan hambatan lalu lintas. Hal ini juga berkaitan dengan keselamatan berlalu lintas. Apalagi, kebijakan zero ODOL seharusnya sudah dilaksanakan sejak 2008 (14 tahun yang lalu) ketika Kementerian PU dan Kemenhub saat itu bersepakat untuk hentikan ODOL. Namun saat itu ada kendala teknis pelaksanaan.
Sekarang, sudah tidak ada lagi alasan untuk menunda. Apalagi, kebijakan zero ODOL akan menjadi momentum memperbaiki sistem transportasi logistik nasional, pembangunan infrastruktur dan pengaturan tata guna lahan. Hal ini akan sangat membantu memperbaiki indeks daya saing Indonesia dan indeks performa logistik (LPI) Indonesia. Masyarakat sangat berharap, kali ini pemerintah dapat lebih konsisten terkait dengan ODOL.*
IB Ilham Malik
- Ketua Program Studi Perencanaan WIlayah dan Kota Institut Teknologi Sumatera (PWK0 Itera).
- Peneliti bidang Trasnportasi dan Guna Lahan (Transport and Land Use Researcher).
- Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sejak 2006.