Divonis Mati, Hal ini yang Memberatkan Hukuman Ferdy Sambo

Ferdy Sambo
Ferdy Sambo. | Tangkapan layar

FORUM KEADILANFerdy Sambo terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J divonis hukuman mati. Majelis hakim yang dipimpin Wahyu Iman Santoso menjatuhkan vonis tersebut dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin siang, 13/2/2023.

Menurut hakim, beberapa hal yang menjadi pemberat hukuman Ferdy Sambo, di antaranya yaitu menghilangkan nyawa orang yang telah mengabdi kepadanya selama kurang lebih tiga tahun.

Bacaan Lainnya

Majelis Hakim Ketua Wahyu Imam Santoso mengatakan, perbuatan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu telah mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Yosua. Tindakan Sambo juga dianggap menimbulkan keresahan dan kegaduhan luas di masyarakat.

Sebagai aparat penegak hukum dengan pangkat jenderal bintang dua, kata hakim, Sambo dinilai tak pantas melakukan pembunuhan berencana.

“Perbuatan terdakwa telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional,” ujar hakim.

Tak hanya itu, dalam kasus ini Sambo juga telah menyeret banyak anak buahnya di kepolisian.

Berikutnya, Sambo dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan, dan tidak mengakui perbuatannya.

Hakim menyatakan, tidak ada hal yang meringankan dalam pertimbangan putusan Sambo.

Ferdy Sambo merupakan mantan kepala Divisi Propam Mabes Polri dengan pangkat terakhir inspektur jenderal. Dia ditangkap pada 11 Agustus 2022 karena dituding sebagai otak dalam pembunuhan berencana terhadap ajudannya Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Melalui sidang etik yang digelar Komisi Kode Etik Polri (KKEP), Ferdy Sambo pada 26 Agustus 2022 diputuskan dipecat dari kepolisian atas tindakan yang dituduhkan kepadanya.

Pembunuhan Brigadir J terjadi pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Ferdy Sambo saat menjabat kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri di kompleks perumahan Polri Duren TigaJakarta Selatan.

Awalnya, kasus ini disebut sebagai tembak menembak antara Yosua dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, ajudan Ferdy Sambo lainnya. Disebutkan, insiden ini terjadi setelah Yosua melakukan pelecehan terhadap Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo. Belakangan terungkap tidak ada tembak menembak, melainkan penembakan sepihak terhadap Yosua.

Sebanyak lima orang kemudian ditetapkan oleh penyidik Bareskrim Polri sebagai tersangka dan berlanjut menjadi terdakwa yang menjalani persidangan perkara pembunuhan berencana terhadap Yosua di PN Jakarta Selatan. Kelimanya ialah Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer atau Bharada E, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf.

Semuanya didakwa oleh jaksa penuntut umum telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Mereka didakwa dengan Pasal 340 subsidair Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Khusus Ferdy Sambo, dia dituntut JPU dengan hukuman penjara seumur hidup. Richard dituntut 12 tahun. Sementara Putri, Ricky dan Kuat, masing-masing dituntut dengan hukuman penjara 8 tahun.

Kasus ini menyedot perhatian publik secara luas karena baik pelaku, korban, dan banyak orang yang terlibat merupakan anggota polisi. Peristiwa yang berlangsung di rumah seorang pejabat utama Polri juga menjadi magnet tersendiri.

Selain itu, banyak pelintiran alur yang berakibat berubahnya berita acara pemeriksaan (BAP) sehingga kejadian sebenarnya tidak diketahui dengan pasti. Pengungkapan peristiwa ini ke masyarakat juga menunjukkan kejanggalan karena baru disampaikan tiga hari setelah terjadi, walaupun kemudian ada penjelasan bahwa hal itu karena peristiwanya berdekatan dengan Idul Adha.

Dalam kasus ini juga ditemukan berbagai pelanggaran kode etik oleh para penyidik berupa sikap tidak profesional meliputi pengrusakan, penghilangan barang bukti, pengaburan, dan rekayasa dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Sejumlah polisi kemudian menjalani sidang etik, dan tujuh di antaranya, termasuk Ferdy Sambo, dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan perintangan penyidikan.

Rangkaian persidangan sejak tiga bulan lalu, juga menyedot perhatian publik. Persidangan selalu dipenuhi pengunjung. Media sosial juga riuh menyikapi kasus sarat drama ini. Uniknya, sejumlah terdakwa juga memiliki penggemar yang setia datang setiap persidangan digelar atau sekadar mengungkapkan simpati di media sosial.*